Hindari Kecemasan Saat Ujian dengan Tidak Menjadi Deadliner
Sebelum memasuki libur lebaran,
mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas
Indonesia harus menghadapi Ujian Akhir Semester terlebih dahulu. Ujian Akhir
Semester Ganjil ini dimulai dari tanggal 20 Mei sampai 31 Mei 2019. Untuk
mahasiswa semester 6, tidak ada lagi bentuk ujian yang bersifat dikerjakan
langsung di dalam kelas. Kini mereka mengerjakan UAS dengan bentuk take home atau dikerjakan di luar kelas.
Pengerjaan ujian dapat dilakukan secara individu maupun kelompok tergantung dari
perintah dosen.
Hasil pengerjaan ujian
dikumpulkan ke dosen sesuai dengan waktu yang ditentukan. Waktu pengumpulan
ujian tergantung dari kebijakan dosen kelas masing-masing. Terkadang dalam satu
hari terdapat tiga ujian yang harus dikumpulkan. Dikarenakan ada tugas individu
serta kelompok, masing-masing mahasiswa dituntut untuk dapat mengatur waktunya
sebaik mungkin agar tidak keteteran. Ada dua tipe mahasiswa dilihat dari
karakter pengaturan waktu dalam mengerjakan ujian. Pertama, mahasiswa yang
mengerjakannya dengan cara mencicil dari jauh hari. Kedua, mahasiswa yang
mengerjakan ujian dekat dengan batas waktu pengumpulan atau akrab disebut deadliner.
Talitha Eza, 20 tahun, mahasiswa
peminatan periklanan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia mengaku sebagai tipe
mahasiswa yang pertama. Ia sudah mencicil dua soal ujian dari delapan mata
kuliah yang diambilnya semester ini. Menurutnya, dengan mencicil akan membuat
dia lebih tenang karena masih ada tugas kelompok yang pengerjaannya bergantung
pada ketersediaan waktu anggota kelompok lainnya. Jika ia harus kerja kelompok
pada waktu yang mendadak, ia akan merasa tenang karena tidak perlu memikirkan
lagi tugas individunya yang sudah selesai sebelumnya. Akan tetapi, Talitha
pernah menjadi deadliner pada
semester ini sebanyak dua kali. Ia merasa tidak tenang jika mengerjakan tugas
dekat dengan batas waktu pengumpulan
Berbeda dengan Ruth Audrey, 21
tahun, mahasiswa peminatan hubungan masyarakat Ilmu Komunikasi Universitas
Indonesia. Ia sudah terbiasa menjadi deadliner.
Bahkan, ia nekat mengerjakan ujian individu pukul 12.00. Padahal ujiannya paling
maksimal dikumpulkan pukul 15.00 hari itu juga. Alasannya karena ia tidak berminat
dengan topik ujiannya. Selain itu, pada hari yang sama terdapat tugas kelompok
yang mengharuskannya menyingkirkan ujian individu. Menurut Ruth, ia terbiasa menjadi
deadliner mengerjakan tugas dekat
batas waktu. Ia merasa pola pengerjaan seperti itu sudah terbentuk sehingga
akan lebih produktif jika menjadi deadliner.
Ruth sering merasa menyesal dengan kebiasaannya, tetapi memutuskan untuk
mempertahankan kebiasaan tersebut.
Jika dilihat dari perspektif
psikologis, menurut Ellang Jaya, Junior
Research di Kelompok Kesehatan Mental Komunitas Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, deadliner ini
memiliki istilah prokrastinasi. Prokrastinasi merupakan perilaku menunda suatu
pekerjaan, lalu melakukan perilaku yang sebenarnya tidak produktif. Perilaku
ini merupakan cara untuk mengatasi (coping)
stress. Ellang mengatakan ada dua jenis coping
stress.
Ellang menambahkan, perilaku
prokrastinasi ini dapat menimbulkan kecemasan sehingga menyebabkan performa
yang tidak baik dalam mengerjakan tugas. Selain itu, prokrastinasi dapat
menimbulkan perasaan bersalah karena ketidakpuasan terhadap hasil dari apa yang
dikerjakan. Ia akan merasa tugas itu tidak sepenuhnya menggambarkan
kemampuannya.
Agar tidak menjadi deadliner, ada beberapa cara yang dapat
kita lakukan. Pertama, kita harus menyadari apa dampak dari perilaku itu
terhadap kita. Kedua, ketika kita sadar bahwa perilaku itu merusak diri, kita
harus meminta bantuan dan saran orang lain. Dengan begitu, kita akan lebih
tenang menjalani Ujian Akhir Semester maupun ujian-ujian lainnya.
0 comments